Kuskus Sulawesi
Ada 2 jenis kuskus yang hidup di Sulawesi dan keduanya merupakan binatang endemik Sulawesi. Satwa tersebut termasuk mamalia Ordo Marsupialia atau mamalia berkantong. Ordo ini merupakan anggota satwa-satwa khas zoogeografi Australia.
1. Kuskus Beruang Ailurops ursinus
Kuskus Beruang atau Kuse betina membawa bayi di dalam kantong yang terdapat di bagian perut. Panjang badan dan kepala kuse adalah 56 cm, panjang ekornya 54 cm dan beratnya dapat mencapai 8 kg. Kuse memiliki ekor yang prehensil, yaitu ekor yang dapat memegang dan biasa digunakan untuk membantu berpegangan pada waktu memanjat pohon yang tinggi.
Kuse mendiami lapisan atas dari hutan. Makanannya terdiri dari daun dan buah, misalnya daun pohon Kayu kambing (Garuga floribunda), dan Pohon Mindi (Melia azedarach) dan buah pohon Rao (Dracontomelon dao). Kuse membentuk kelompok kecil yang hanya terdiri dari induk dan bayi. Kecuali pada musim kawin, kuse jantan dan betina dewasa biasanya hidup secara soliter / sendiri-sendiri.
Kuse merupakan binatang yang pendiam. Dia hampir-hampir tidak bersuara kecuali kalau terganggu. Kuse yang terganggu akan mengeluarkan suara decak yang disela dengan engahan keras.
Kuse yang terdapat di pulau Sangihe dan Salibabu (Kabupaten Sangihe-Talaud) memiliki ciri yang sedikit berbeda dari yang terdapat di daratan Sulawesi. Bulunya berwarna abu-abu pucat yang seragam, ukuran kepalanya berbeda, dan secara keseluruhan ukurannya lebih kecil. Kuse ini digolongkan sebagai sub-jenis khas Sangihe-Talaud, dan nama ilmiahnya Ailurops ursinus melanisticus.
Strigocuscus celebensis mempunyai beberapa subspesies yaitu: S. c. celebensis ditemukan di Sulawesi Tengah dan Selatan, S. c. feileri di Sulwesi Utara, and S. c. sangirensis ditemukan di Kepulauan Sangihe.
Strigocuscus celebensis hidup di hutan primer, hutan sekunder dan juga di kebun masyarakat di pinggir hutan. Kadang-kadang tidur di pelepah daun kelapa. Masyarakat di daerah Napu pernah menemukannya di daerah persawahan dan dibawanya pulang.
Kuskus kerdil ini berwarna coklat pucat agak keputihan, panjang tubuh dari kepala 29-38 cm dan panjang ekornya 27-37cm, beratnya 1 kg atau kurang, rostrum lebih pendek dari kuskus beruang. Hidup secara nocturnal (aktif dimalam hari ) dan arboreal (berada di pepohonan) biasa berpasangan jantan dan betina. Kuskus kerdil merupakan pasangan monogami yang tidak berganti-ganti pasangan. Makanan utamanya adalah daun-daunan, bunga, buah, kulit pohon, dan juga jamur hutan.
Kuskus kerdil biasanya mengandung satu sampai dua kali pertahun, dimana 3-4 anak akan lahir, tetapi hanya satu saja yang di asuh. Masa kehamilan relatif singkat hanya 20 hari saja dan anak kuskus lahir dalam keadaan sangat kecil dan tidak berbulu yang akan merayap ke kantong induknya.
Status populasinya belum diketahui dengan pasti dan menurut IUCN S. celebensis termasuk kategori DD (data deficient).
Sejarah Lembah Napu
Lemba Napu adalah Dataran Tinggi Sulawesi Tengah yaitu kurang lebih 1200 meter dari permukaan laut, dikelilingi oleh pegunungan sehingga bentuknya seperti kuali besar, ditengahnya mengalir sungai lariang yang berhulu di tawaelia (Desa Sedoa), dan bermuara di sela Makasar Mamuju Sulawesi Selatan. Semua sungai dan anak sungai lembah napu bermuara ke sungai Lairiang sehingga semakin ke Selatan semakin besar dan dalam.
Dataran lembah Napu sebagian terdiri dari padang rumput, dataran perkampungan dan Hutan Rimba.
Menurut hikayat atau cerita turun temurun, ribuan tahun yang lalu lembah napu adalah danau yang luas yang disebut “Rano Raba”. Desekeliling danau diatas bukit/gunung bermukimlah kelompok-kelompok masyarakat berbentuk panguyuban yang dipimpin oleh seorang yang dituakan yang disebut TUANA. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut adalah :
1. To Huku ( Diatas desa Wanga) bahasa yang digunakan adalah bahasa Huku.
2. To Makumba (diatas desa Siliwanga)
3. To Malibubu ( Sebelah Barat desa Watutau, sebelah utara desa Betue)
4. To Urana ( Sebelah Timur desa Talabosa)
5. To Beau ( sebelah selatan desa watutau/ sebelah timur desa Betue)
6. To Atuloi (Sebelah utara desa Dodolo)
7. To Beloka ( Sebelah Timur desa Tamadue)
8. To Kapa ( Sebelah Selatan desa Tamadue)
9. To Wawowula ( Sebelah Selatan desa Tamadue)
Dataran lembah Napu sebagian terdiri dari padang rumput, dataran perkampungan dan Hutan Rimba.
Menurut hikayat atau cerita turun temurun, ribuan tahun yang lalu lembah napu adalah danau yang luas yang disebut “Rano Raba”. Desekeliling danau diatas bukit/gunung bermukimlah kelompok-kelompok masyarakat berbentuk panguyuban yang dipimpin oleh seorang yang dituakan yang disebut TUANA. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut adalah :
1. To Huku ( Diatas desa Wanga) bahasa yang digunakan adalah bahasa Huku.
2. To Makumba (diatas desa Siliwanga)
3. To Malibubu ( Sebelah Barat desa Watutau, sebelah utara desa Betue)
4. To Urana ( Sebelah Timur desa Talabosa)
5. To Beau ( sebelah selatan desa watutau/ sebelah timur desa Betue)
6. To Atuloi (Sebelah utara desa Dodolo)
7. To Beloka ( Sebelah Timur desa Tamadue)
8. To Kapa ( Sebelah Selatan desa Tamadue)
9. To Wawowula ( Sebelah Selatan desa Tamadue)
Kemudian To’beloka, To’kapa, To’wawula, bergabung membuat pemukiman baru diatas bukit Winua yang mempunyai bahasa sendiri yang disebut bahasa Winua. Tempat ini disebelah Timur Tamadue terdapat patung Pakasele dan Pakatalinga dua kilometer dari desa Tamadue.
Ada banyak lagi kelompok-kelompok masyarakat yang belum diiventarisir tetapi bukti pemukimaqn ditatas bukit/gunung masih ada bekasnya sampai sekarang ini seperti sebelah Utara desa Winowanga Disebelah utara Desa Alitupu dan disebelah Utara desa Wuasa yang disebut dengan POWANUANGA SAE –(Perkampungan Tua).
Kelompok-kelompok masyarakat ini saling mengetahui / mengerti bahasa, yang akhirnya sekarang terkenel dengan bahasa Napu.
Suatu saat Rano Raba (Danau Raba) dikeringkan dengan upacara adat atas petunjuk Alla Ta Ala melalui Tawalia (dukun) dengan mengaliri aliran Danau disebelah selatan desa Torire sekarang, yang akhirmya menjadi sungai lairiang melewati Lore Selatan dan bermuara di Mamuju Sulawesi Barat.
Semakin lama Rano Raba semakin kering dan beberapa ratus tahun kemudian menjadi padang rumput dan hutan rimba, tinggal Rango Wanga (Danau Wanga) dan Rango Ngkio sebelah selatan desa Alitupu sekarang.
Semakin lama Rano Raba semakin kering dan beberapa ratus tahun kemudian menjadi padang rumput dan hutan rimba, tinggal Rango Wanga (Danau Wanga) dan Rango Ngkio sebelah selatan desa Alitupu sekarang.
Dengan melihat dataran yang baik untuk penggembalaan ternak, dan untuk pertanian, makaa kelompok masyarakat yang tadi turun ke lembah untuk membuat pemukiman baru yang dikenal dengan nama:
1. To Kalide sebelah selatan Desa Tamadue (suku Winua), pada saat itu tibalah seorang Manuru yang kawin dengan seorang perempuan Bangsawan Putri Raba dengan turunan yaitu: Tindarura (Gumangkoana), Madusila, Ralinu, Sadunia, Madikampudu (Kompalio), Pua, Rabuho (perempuan), Rampalili.
2. To Habingka (suku Winua).
3. To Gaa (suku Winua).
4. To Lengaro (suku Huku,To Makumba, To Malibubu).
5. To Pembangu (To Urana, To beau, dan sebagian To Malibubu yang sekarang menjadi Suku Watutau)
6. To Mamboli ( Suku Winua)
7. To Pekurehua (kumpulan masyarakat yang akhirnya menjadi perkampungan besar yang dipimpin oleh seorang Panglima yang bernama Tindarura(Gumangkoana) yang memberi nama Lembah ini dengan PEKUREHUA.
2. To Habingka (suku Winua).
3. To Gaa (suku Winua).
4. To Lengaro (suku Huku,To Makumba, To Malibubu).
5. To Pembangu (To Urana, To beau, dan sebagian To Malibubu yang sekarang menjadi Suku Watutau)
6. To Mamboli ( Suku Winua)
7. To Pekurehua (kumpulan masyarakat yang akhirnya menjadi perkampungan besar yang dipimpin oleh seorang Panglima yang bernama Tindarura(Gumangkoana) yang memberi nama Lembah ini dengan PEKUREHUA.
Disetiap pemukiman didirikan Powoha tempat musyawarah masyarakat adat masyarakat setempat. Sedangkan tempat musyawarah seluruh Bangsawan napu dibangunlah Duhuga di Lamba, dan akhirnya Lamba menjadi pemukiman baru yang disebut To’Lamba.
Didalam duhuga Lamba inilah setiap tahun dilaksanakan upacara ritual adat MOENDE bagi arwa jenazah para bangsawan Napu yang tidak dikuburkan, nanti dikuburkan setelah Belanda masuk lembah Napu Tahun 1919.
Sebagaiman telah dipaparkan diatas, bahwa disebelah Utara desa Wuasa ada Powanuanga Sae atau pemukiman /perkampungan tua. Menurut cerita di Perkampungan ini hiduplah sekelompok Masyarakat yang dipimpin oleh seorang yangn dituakan yaitu MPEBIARO kurang lebih ratusan tahun yang lalu, ketika itu masyarakat telah berbudaya.
Mpebiaro adalah seorang yang memiliki sifat suka menantang perang tanding satu lawan satu, suatu saat dia menentang kedaerah “Lemba” (sekarang Sigi Biromaru), disana dia mendapat lawan yang kuat bernama “Latandu” yang sebenarnya adalah sahabatnya sendiri. (jauh sebelumnya Napu telah mempunyai hubungan baik dengan Masyarakat Lemba tidak terkecuali masyarakat dibawa pimpinan Mpebiaro, Jalan yuang mereka tempu adalah lewat Torongkilo, Salu Mparapa, Mamawa. Adale, Susumalindu, kemudian turun ke Banga-banga sampai Dongi-dongi mengikuti sungai dan tiba di Bora atau Lemba).
Untuk menjaga kemungkinan akibat tantangan Mpebiaro ini, maka seluru masyarakatnya dipindahkan ke suatu tempat yang disebut PANGKATUHA sebelah selatan desa alitupu dekat Rano Ngkio. Sebagai tanda bagi masyarakatnya bahwa musunya telah datang maka digantunglah gendang besar yang dipukul sebagai tanda agar masyarakat mencari perlindungan terutama bagi wanita dan anak-anak, karena Mpebiaro sudah merasakan kekuatan Latandu, sebab sudah berbulan-bulan mereka berperang tanding namun belum tanda-tanda ada yang kalah.
Untuk menjaga kemungkinan akibat tantangan Mpebiaro ini, maka seluru masyarakatnya dipindahkan ke suatu tempat yang disebut PANGKATUHA sebelah selatan desa alitupu dekat Rano Ngkio. Sebagai tanda bagi masyarakatnya bahwa musunya telah datang maka digantunglah gendang besar yang dipukul sebagai tanda agar masyarakat mencari perlindungan terutama bagi wanita dan anak-anak, karena Mpebiaro sudah merasakan kekuatan Latandu, sebab sudah berbulan-bulan mereka berperang tanding namun belum tanda-tanda ada yang kalah.
Suatu saat mereka melakukan pertandingan yang terakhir di Torongkilo, Gunung disebelah Utara Desa Wuasa / sebelah Barat desa watumaeta dengan perjanjian apabilah tidak ada yang kalah, maka pertandingan ini berakhirlah, sama-sama menang dan sama-sama kalah. Namun ketika mereka bertanding sama-sama menderita luka parah sehingga mereka berpisah.
Arca Menhir di Lore Lindu
1. Patung Tadulako di Doda
Sebuah arca menhir yang terdapat di Desa Doda, oleh masyarakat setempat dinamakan Tadulako. Patung ini memiliki tinggi 175 Cm dan lebar 70 Cm, dengan ilustrasi wajah dan mata miring, lengan dan tangannya terpampang ke arah alat kelamin (laki-laki). Berbeda dengan arca menhir lainnya, arca Tadulako ini kepalanya sedikit pecah. Menurut penduduk, pecahnya kepala patung ini disebabkan karena kepalanya terluka setelah dipukul dengan alu lantaran ia telah berzina.Tetapi cerita versi lain mengatakan dahulu kala ada seorang lelaki yang mempunyai kesukaan mencuri telur ayam milik orang lain. Pada suatu hari, lelaki ini mencuri telur ayam di suatu kadang. Tidak jauh dari kandang itu ada dua orang perempuan yang tengah menumbuk padi. Karena ketahuan, dua perempuan itu kemudian memukuli pria itu hingga kepalanya pecah dan saat itu pula ia berubah menjadi batu.
Dahulu kala, ketika perang antar suku masih sering terjadi, penduduk setempat selalu memohon kepada patung ini agar memperoleh kemenangan dalam peperangan yang mereka lakukan. Karena itulah, patung ini dinamakan Tadulako yang berarti pejuang di garis depan.
2. Patung Mpolenda di Desa Wanga
Di situs Polenda yang terdapat di Desa Wanga, hanya ada satu arca menhir yang oleh penduduk setempat dinamakan Polenda. Menurut cerita yang biasa dituturkan orang tua, Polenda adalah seorang pemuda yang mempunyai tugas untuk menjaga persawahan di dekat Danau Rano dari gangguan burung-burung pemakan padi.
Ketika padi mulai menguning, banyak gadis-gadis desa datang untuk menuai padi. Untuk menarik perhatian para gadis itu, Polenda membuat suatu permaianan. Seekor ular ditangkap dan setelah dibunuh dililitkannya ke pinggangnya. Kemudian ditangkapnya pula seekor burung gelatik dan diikatnya hidup-hidup pada ular yang melingkar di pinggangnya. Maksudnya, burung gelatik ini diibaratkan sebuah lonceng yang biasa digantungkan di pinggang kaum laki-laki.
Agar “lonceng” itu berbunyi, Polenda memukulnya dengan menggunakan seekor lipan. Sambil membunyikannya, Polenda berjalan di antara gadis-gadis desa yang sedang menuai padi itu. Mereka dibuat tertawa karena ulah Polenda itu.
Setelah merasa cukup, Polenda kembali ke pondok yang ada di tengah sawah. Dari pondok yang dibuat tinggi itu, Polenda mengawasi seluruh sawah. Tetapi dari pondok itu, Polenda ternyata masih meneruskan permainannya dengan cara berteriak-teriak. Tampaknya, dewa di atas merasa jenuh melihat tingkah Polenda itu.
Tiba-tiba guntur mulai terdengar, kilat menyambar-nyambar serta disertai dengan angin puyuh. Akibatnya Polenda dan pondoknya terlempar ke atas. Para gadis desa yang menyaksikan peristiwa ini berteriak ketakutan. Polenda terus diterbangkan oleh angin hingga saat Maghrib tiba. Namun ketika ia jatuh kembali ke tanah, Polenda telah berubah menjadi batu.
Konon ceritanya, Polenda tidak jatuh di Desa Wanga. Namun penduduk tidak tahu bagaimana arca menhir ini di kemudian hari bisa berada di wilayah Desa Wanga.
3. Arca Pekasele di Desa Tamadue
Di situs Mungkuwinua yang terletak di desa Tamadue, terdapat sebuah arca menhir yang dinamakan sebagai Pekasele. Arca ini berbentuk bulat lonjong dimana kepala langsung disambung dengan badan. Tidak ada kaki dan tangan tampak terpotong di bagian pangkalnya. Di bagian kepala terdapat pahatan yang menyerupai tutup kepala.
Di sebelah utara Pekasele, terdapat arca menhir yang oleh penduduk lokal dinamakan Pekatalinga. Arca menhir ini berbentuk bulat lonjong , ada kepala dan badan tetapi tidak dilengkapi kaki dan tangan.
Walaupun Pekatalinga tidak jelas jenis kelaminnya, penduduk setempat mengatakan bahwa Pekatalinga adalah suami dari Pakasele. Selain itu Pekatalinga adalah raja dari Winua yang saat berperang dengan Kerajaan Sigi mengalami kekalahan. Pekatalinga terbunuh dan istrinya, Pekasele melarikan diri bersama seorang dayangnya yang bernama Mpadudu.
Tepat di tengah desa Tamadue, terdapat sebuah arca megalit yang oleh penduduk desa itu dianggap sebagai seorang dayang dari Pekasele. Arca menhir ini semula berada di situs Mangkuwinua dan berdekatan dengan arca Pekasele. Pada tahun 1939, arca ini dibawa oleh pemerintah Kolonial Belanda, tetapi karena suatu hal ahkirnya diletakkan di helaman rumah penduduk.
4. Arca menhir di Desa Sepe
Di padang rumput yang terletak di Desa Sepe, terdapat sebuah arca menhir yang terbesar di seluruh Sulawesi. Arca yang memiliki tinggi 382 Cm dan keliling 438 Cm. Penduduk setempat menamakan menhir ini dengan nama Tosalogi atau ada juga yang menamakan Palindo.
Secara visual, megalit ini digambarkan dengan mata bulat, hidung pesek, mempunyai telinga dan mulut yang berbentuk goresan panjang. Menhir ini tidak mempunyai kaki sedangkan kedua tangan dipahat mengarah ke phallus, yang berarti arca ini berjenis kelamin laki-laki.
Dalam catatan Albert C. Kruyt (ahli megalit dari Belanda) , almarhum Tuan J. Woensdreget pernah mengatakan bila tidak jauh dari menhir Tosalogi, ditemukan pula arca menhir lainnya berjenis kelamin perempuan. Nama menhir yang sebagian badannya tertanam dalam tanah ini adalah Suso. Namun Kruyt sendiri tidak pernah menemukannya. “Saya mencoba mencarinya dua kali tetapi tidak pernah menemukannya,” tulis Kruyt.
Menurut cerita penduduk setempat, dua patung menhir ini pada mulanya adalah sepasang suami-istri yang bertengkar karena soal perzinaan yang dilakukan oleh mereka berdua. Sang suami (Tosalogi) marah lalu membanting istrinya (Suso) ke tanah dan kemudian pasangan suami-istri itu berubah menjadi batu.
Kondisi arca menhir Tosalogi kini miring ke arah selatan sebesar 30 derajad. Kruyt mengatakan menhir ini miring karena tekanan akar-akar pohon yang tumbuh di sekitar menhir itu. Tetapi masyarakat Bada percaya bahwa miringnya Tosalogi disebabkan karena patung itu pernah akan dipindahkan oleh To Raa (orang dari Masamba). Mereka beranggapan bahwa patung itu adalah simbol dari nenek moyang mereka.
Tetapi ulah To Raa ini membuat orang Bada marah dan terjadilah pertempuran di antara mereka. Pada akhirnya pertempuran yang konon banyak makan korban itu dimenangkan oleh masyarakat Bada.
Hingga kini, arca menhir Tosalogi masih dianggap sebagai benda keramat masyarakat setempat. Bagi mereka yang percaya, ada jin yang menghuni di menhir itu. Selain itu masih banyak orang yang sering bertapa di patung itu untuk mendapatkan semacam ilmu kesaktian. Namun sebelumnya, mereka harus memberikan sesaji berupa sirih dan pinang untuk menhir itu.
5. Peti Kubur Kayu di Situs Pulau Bola, Danau Lindu
Di situs Pulau Bola yang ada di tengah Danau Lindu, terdapat sebuah peti kubur kayu dengan panjang 300 cm dan diamter 70 cm. Peti kubur yang telah berusia ratusan tahun ini konon ditemukan pertama kali pada abad 16. Pada salah satu ujung peti kubur itu terdapat hiasan motif kepala kerbau yang dalam dialek bahasa Tado dinamakan Pe’tondu. Sedangkan pada permukaannya dihias dengan pola meander dan tumpal.
Semula, peti kubur ini diletakkan dalam rumah panggung tradisional yang bernama Tombi Dopi. Namun setelah rumah tradisional itu roboh, diganti dengan bangunan permanen yang terbuat dari kayu pada tahun 1980-an. Sedangkan di sekeliling peti kayu itu sendiri dibangun tembok batu setinggi 1 meter. Pemugaran yang konon dilakukan oleh seorang Bugis dari Desa Tomado – tidak jauh dari Danau Lindu — sebagai ungkapan syukur karena usaha dagangnya maju dengan pesat. Tetapi pemugaran ini disayangkan karena ternyata tidak dibicarakan terlebih dahulu dengan para ahli warisnya.
Menurut cerita, jenazah yang disimpan dalam peti kubur itu adalah seorang bangsawan Sigi yang bernama Maradindo. Ibunya yang cantik bernama Maniori. Sedangkan bapaknya berasal dari dunia gaib yang tidak diletahui namanya. Alkisah, ketika Desa Tanangke yang menjadi desa tempat tinggal Maniori, diserang lebah, semua penduduk desa melarikan diri. Walaupun semua melarikan diri, Maniori ternyata tetap bertahan di desanya.
Maniori kemudian tinggal sendiri di Desa Tanangke. Pada suatu malam ketika Maniori tidur, ia didatangi oleh pria misterius yang kemudian menidurinya. Menjelang fajar, barulah pria itu pergi. Kejadian ini terjadi berulang-ulang hingga menyebabkan Maniori hamil. Ketika bayi itu lahir, Maniori atas amanat bapaknya minta agar anaknya dinamakan Maradindo.
Semasa hidupnya, Maradindo dikenal sebagai seorang yang sakti dan gagah berani. Dalam setiap peperangan, Maradindo selalu keluar sebagai pemenang. Selain itu bila berburu, Maradindo selalu pulang dengan binatang buruan di tangan.
Ketika Maradindo meninggal, semua orang Lindu mersa sedih. Selama tujuh hari tujuh malam, jenazahnya disemayamkan di dalam Tombi Dopi. Selama itu pula, masyarakat Lindu mencoba untuk membuat peti jenazah untuk Maradindo. Tetapi bila sudah tiba di rumah duka, setiap peti jenazah yang selesai dibuat selalu saja pecah berkeping-keping.
Karena terjadi berulang-ulang, masyarakat lindu pun mulai putus asa. Mereka tidak tahu kayu apa yang cocok untuk jenazah Maradindo. Saat mereka kebingungan, tiba-tiba Maradindo hidup kembali dan berkata,”Walaupun semua kayu di dataran Lindu ini habis ditebang dan ditara, tidak akan membuahkan hasil apapun. Suruh beberapa orang yang pandai membuat peti jenazah untuk pergi ke Saluki (Sigi Biromaru). Tiba di Sungai Saluki, berjalanlah melawan arus, mendekati hulu, ada sebatang pohon yang seolah-olah membendung arus air. Kayu in harum baunya dan dinamakan kayu palio (gaharu/cendana). Hanya kayu inilah yang cocok untuk peti jenazahku.” Usai berkata demikian, Maradindo pun mati lagi.
Akhirnya jenazah Maradindo dimasukkan ke dalam peti jenazah yang terbuat dari kayu cendana dan kemudian disimpan di Tompi Dompi yang ada di Pulau Bola. Hingga kini, jenazah Maradindo masih dikeramatkan masyarakat setempat. Banyak orang membawa sesaji ke tempat ini dengan tujuan untuk meminta bantuan dari Maradindo sehingga apa yang menjadi keinginannya dapat tercapai. Sesaji berupa rokok dan makanan banyak tergeletak di bawah salah satu ujung peti jenazah Maradindo.
Sekitar Oktober 2001, di sekitar makam ini berkeliaran seekor ayam putih. Menurut Pak Bakti, seorang Polhut (Polisi Hutan) dari Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL), ayam putih ini dibawa oleh seseorang yang menderita sakit lumpuh. “Saya yang mengantarkan dia ke sini,” ujar Pak Bhakti. Orang ini mempunyai keinginan agar Mardindo dapat memberikan pertolongannya sehingga penyakitnya dapat lekas sembuh.
6. Menhir di situs Loga, Desa Pada
Di situs Loga yang ada di Desa Pada, ada sebuah menhir yang oleh penduduk setempat dinamakan Loga. Arca menhir yang konon berjenis kelamin perempuan ini digambarkan dengan bentuk wajah bulat, kening agak menonjol, mata sipit, hidung lebar dan pesek, tanpa mulut, tanpa jenis kelamin, tangan terlipat ke dad dan tanpa kaki.
Menurut cerita, Loga bukanlah orang biasa tetapi orang yang turun dari langit dan kemudian tinggal di Lelio. Suatu ketika ada, ada seorang pria bernama Tupapa yang juga berasal dari langit dan tinggal di Gunung Tumbaruka. Pada suatu hari, pria ini berkunjung ke Lelio.
Ketika berjumpa dengan Loga, Tupapa langsung jatuh cinta. Tetapi sayang, Loga sudah mempunyai suami. Namun demikian, Tupapa nekad membawa lariLoga yang nampaknya juga mencintainya. Akibatnya terjadilah perkelahian antara suami Loga dan anditu dari Lelio itu. Dalam perkelahian itu suami Loga berhasil dibunuhnya dan kepalanya dipotong dan dibawa pulang.
Anditu dari Lelio itu badannya jatuh tertelungkup di atas tanah dan karena itu dinamakan Tupapa yang berarti “yang tertelungkup”. Suami Loga yang membawa kepala Tupapa akhirnya tidak tahan membawa kepala itu dan menjatuhkannya di Kuramu, yaitu sebuah sungai kecil dekat Bewa. Ketika kepala itu menyentuh tanah, berubahlah menjadi batu.
Saat Loga mendengar Tupapa mati, ia pun membujuk saudara-saudaranya untuk menghidupkan pria itu lagi. Tetapi saudara-saudaranya engga melakukannya karena Tupapa dinilai memiliki kesalahan besar.
Didorong keinginan besar untuk melihat, Loga berjalan mencari Tupapa. Dari atas bukit, ia melihat tubuh pria yang menggodanya itu telah menjadi batu. Lalu, tiba-tiba, Loga pun juga berubah menjadi batu. Karena itulah ia disebut Loga, yaitu yang melihat ke bawah. Sedangkan patung Tupapa berada di dalam juang. Tetapi sekarang patung ini ada di tengah kampung Pada.
Dahulu kala, bila orang-orang Leilo berangkat ke medan peperangan, mereka akan memberikan korban terlebih dahulu kepada patung loga. Sebagai balasannya, Loga akan mengawal mereka dalam peperangan dan bila orang-orang Leilo menang dalam pertempuran mereka akan memberikan korban lagi kepada Loga.
7. Watu Baula di Situs Tatandua, Desa Badangkaia, Bada
Watu Baula berarti patung kerbau. Masyarakat Bada memberi nama ini untuk menhir yang terletak di tengah sawah di Desa Badangkaia. Posisi arca ini terbaring, bentuknya bulat panjang dan lonjong, wajah menghadap ke utara, mata bulat, hidung lebar dan pesek, dan dua buah telinga. Sedangkan di bagian atas terdapat hiasan dakon dan goresan berbentuk memanjang.
Menurut kisah orang-orang tua dari Bada, menhir ini dahulunya adalah seekor kerbau besar yang bernama Tantaroe dari Desa Tinoe. Kerbau ini selalu membuat banyak orang marah karena suka makan tanaman di ladang. Bila kerbau ini kebetulan lewat di dekat perempuan-perempuan yang sedang menumbuk padi, mereka akan melemparkan alu ke arah kerbau ini.
Bila kerbau ini bertemu dengan setiap laki-laki, mereka pasti akan menetakan parang ke arah kerbau itu. Karena kejadian ini selalu terjadi maka akhirnya kerbau itu mati dan berubah menjadi batu.
Tidak jauh dari Watu Baula, sekitar 50 meter ke arah tenggara, terdapat pecahan batu-batu kalamba. Menurut cerita, dahulu kala di sekitar tempat ini, pernah diadakan suatu pesta dengan menyembelih seekor kerbau betina. Ketika dagingnya dipotong-potong, tiba-tiba berubahlah menjadi batu. Pecahan-pecahan batu itu dianggap sisa-sisa daging kerbau yang dipotong-potong.
8. Situs Ari’impohi di Desa Bewa
Satu-satunya megalit yang ada di situs ini, dipercaya sebagai suami Loga yang arcanya ada di Desa Pada, sekitar 4 kilometer dari Bewa. Masyarakat setempat memberi nama menhir ini Ari’impohi.
9. Watu Tembaga di Situs Panapa, Desa Bolapapu
Di situs ini terdapat sebuah bongkahan batu yang oleh masyarakat setempat dinamakan Watu Tembaga. Hingga kini batu ini masih dikeramatkan. Menurut Pak Paulus Tampinongo dari Desa Bolapapu, di malam hari sering keluar binatang seperti anjing, kucing dan kambing dari batu ini.
Dahulu kala, ketika penduduk sekitar akan pergi berperang, sebelumnya mereka akan memberikan sesaji terlebih dahulu di batu ini. Dengan harapan mereka akan memenangkan perang melawan suku lainnya.
10. Batu Besar di Hanggira
Sekitar empat jam perjalanan ke arah barat dari situs Kalamba di Desa hanggira, terdapat sebuah batu besar dengan panjang 3 meter dan lebar 1,5 meter. Menurut masyarakat Besoa, batu besar ini adalah peti kubur dari orang yang bernama Tawualei.
Pada salah satu ujung batu ini sedikit terbuka sehingga penduduk sering memasukan tongkat ke dalmnya. Menurut cerita, Tawualei menutup sendiri tutup kalambanya, sebelum dirinya meningal. Tetapi karena ia berada di dalam kalamba, maka ia tidak dapat menutup dengan sempurna.
Dahulu kala banyak orang dari Desa Hanggira yang mencoba menggali tanah di sekitar kalamaba ini untuk mencari barang berharga yang terbuat dari emas. Namun sebelumnya harus diberikan dahulu sirih dan pinag di atas batu itu.
Selain itu, di tempat ini juga sering dijadikan tempat untuk melakukan semedi. Mereka yang bersemedi di situs ini berharap dapat bertemu dengan penunggu kalamba itu dan mau memberikan suatu ilmu gaib.
11. Buangke di Desa Hanggira
Sekitar 2 kilometer arah tenggara dari Desa hanggira, terdapat patung menhir yang dinamakan Buangke. Menhir ini memiliki mata miring, dan mukanya seperti bulan sabit. Telinga kirinya sudah pecah dan di dadanya ada dua lingkaran kecil. Tidak jelas apa jenis kelamin patung menhir ini, tetapi masyarakat Besoa percaya bahwa Buangke berjenis kelamin perempuan.
Menurut cerita penduduk, buangke dahulunya adalah seorang perempuan berasal dari Desa Hanggira. Suatu hari, ia pergi ke Pili yang letaknya di pinggir Sungai Koro dengan maksud mencri jodoh. Di sana ia bertemu dengan seorang pria yang bernama Togeu.
Namun pria ini ternyata sudah beristri. Karena suaminya digoda Buangke maka marahlah istri Togeu dan memotong telinga kiri Buangke. Karena itulah telinga kiri patung itu pecah.
Karena meraka saling jatuh cinta, Buangke dan Togeu pergi ke Hanggira. Tiba di tempat yang bernama Hadoa, tiba-tiba Togeu berubah menjadi batu yang kemudian tidak lama kemudian disusul oleh Buangke. Namun kini patung Togeu di lokasi ini sudah tidak ditemukan lagi.
Dahulu kala, Bunagke dikeramatkan oleh masyarakat Hanggira. Sebelum membuka ladang baru, orang-orang dari Hanggira biasa meminta kepada Buangke agar didatangkan cuaca yang kering sehingga mereka mudah untuk membakar kayu-kayu yang dibakar. Untuk itu, dukun desa akan membuat masakan berupa nasi, telur dan daging ayam. Setelah masak, sebagain dari masakan itu ditaruh di atas daun dan diletakkan di dekat pataung Bunagke. Bila masakan itu sudah dingin berarti Buangke telah menikmatinya.
Buangke juga menjadi semacam, dewa pelindung bagi masyarakat Hanggira. Selain memberikan peringatan bila ada musuh yang akan menyerang, Buangke juga akan mengajak para dewa untuk membantu warga hanggira dalam melawan musuh-musuhnya. Dengan bantuan Buangke ini maka musuh masyarakat Hanggira akan melihat pasukan Hanggira memiliki banyak tentara sehingga membuat mereka takut dan mundur dari arena peperangan.
Sejarah Kota Tua Donggala
Kota tua Donggala ini pernah menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda pada abad awal 20. Setelah Belanda menguasai Sulawesi Tengah pada tahun 1905, Gubernur Jenderal W. Rooseboom di Batavia yang menetapkan perubahan pembagian administrasi di pulau Sulawesi. Pelabuhan Donggala dulunya merupakan pelabuhan niaga dan penumpang. Tidak heran masih banyak bangunan tua tersisa di kota ini. Sejak lama Donggala telah dikenal sebagai pelabuhan laut. Dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck milik Buya Hamka, dan Tetralogi Pulau Buru milik sastrawan Pramoedya Ananta Toer, kedua buku itu menyebut nama Donggala disebut sebagai tempat singgah para pelaut Nusantara dan Mancanegara.
Nama Donggala sendiri berasal dari nama pohon Donggala atau dalam bahasa latin disebut Callophyllum innophyllum yang masuk dalam famili Clusiaceae atau Gutiferae.
Kalau nama Indonesianya sejenis pohon Nyamplung. Pohon ini yang kemudian diabadikan menjadi nama Ibu Kota Kabupaten Donggala. Penamaan suatu daerah berdasarkan nama pohon umum dilakukan para orang-orang tua di tanah Kaili. Hal mana bisa dilihat di beberapa tempat lain yang namanya juga diambil dari nama pohon misalnya Siranindi, Kamonji, Tavanjuka, Lere, Talise, Nunu, Balaroa, Tavaili, Biromaru, Kalukubula dan seterusnya. Menurut penuturan Bapak R.D. Malonda, salah seorang tokoh masyarakat Donggala, bahwa dahulu kala kawasan Donggala ditumbuhi oleh Pohon Donggala. Dijelaskan bahwa pohon Donggala sebenarnya juga dijumpai di daerah lain misalnya di daerah pantai barat dan sebelah selatan Kecamatan Banawa akan tetapi mungkin karena di Kota Donggala pada waktu itu populasinya paling dominan sehingga masyarakat menamakan daerah tersebut sebagai daerah Donggala.
Kalau nama Indonesianya sejenis pohon Nyamplung. Pohon ini yang kemudian diabadikan menjadi nama Ibu Kota Kabupaten Donggala. Penamaan suatu daerah berdasarkan nama pohon umum dilakukan para orang-orang tua di tanah Kaili. Hal mana bisa dilihat di beberapa tempat lain yang namanya juga diambil dari nama pohon misalnya Siranindi, Kamonji, Tavanjuka, Lere, Talise, Nunu, Balaroa, Tavaili, Biromaru, Kalukubula dan seterusnya. Menurut penuturan Bapak R.D. Malonda, salah seorang tokoh masyarakat Donggala, bahwa dahulu kala kawasan Donggala ditumbuhi oleh Pohon Donggala. Dijelaskan bahwa pohon Donggala sebenarnya juga dijumpai di daerah lain misalnya di daerah pantai barat dan sebelah selatan Kecamatan Banawa akan tetapi mungkin karena di Kota Donggala pada waktu itu populasinya paling dominan sehingga masyarakat menamakan daerah tersebut sebagai daerah Donggala.
Kabupaten Donggala mempunyai kerajinan sarung tenun yang sangat terkenal Sarung Tenun Donggala. Salah satu pusat tenun Donggala berada di Desa Limboro dimana tidak kurang 100 penenun setiap hari bekerja menenun kerajinan ini. Dengan peralatannya sangat sederhana yang terbuat dari kayu dan bambu mereka tetap berusaha melestarikan warisan nenek moyang dengan tekun. Proses pembuatan kain tenun Donggala ini, hampir sama dengan pembuatan tenun-tenun yang ada di daerah lain. Baik dari proses pewarnaan benang hingga penenunan. Motif yang ada antara lain: palekat garusu, buya bomba, buya sabe, kombinasi bomba dan sabe. Dari sekian corak tersebut, buya bomba yang paling sulit, hingga membutuhkan waktu pengerjaan satu hingga dua bulan. Sedangkan motif lainnya yang hanya membutuhkan waktu satu hingga dua minggu saja. Buya Sabe, banyak digunakan pada cara-cara tertentu. Seperti pakaian pesta untuk orang tua, untuk menjamu tamu dari luar daerah, serta pakain untuk acara duka. Harganya tergantung motifnya,dengan harga termurah mencapai Rp 300 ribu dan paling mahal seharga Rp 650 ribu.
Satu lagi yang terkenal dari Donggala adalah Kaledo (konon singkatan dari Kaki Lembu Donggala) yang terbuat dari tulang kaki lembu dan dagingnya, dicampur asam Jawa mentah, dengan bumbu cabe rawit, garam dan jeruk nipis. Setelah masak Kaledo seperti sup dengan kaki lembu dan sedikit daging. Jika kurang pedas, kita bisa menambahnya dengan sambal cabe rawit. Agar terasa wangi, biasa ditambahkan bawang goreng yang juga oleh-oleh khas Palu.
Yang bertahan di Pelabuhan Donggala saat ini hanya aktivitas nelayan saja dan sisa bangunan tua yang keropos dimakan usia.
Teken from : http://lorelindu.wordpress.com
kalau ditelusuri ternyata Sulawesi Tengah banyak menyimpan keindahan..
ReplyDeleteheemm.. menakjubkan
kakarmand.blogspot.com
salam kenal..